DEGORONTALO – Kembali ke pestisida. Masih menurut Tonny, pemerintah juga bersikap ambigu. Di satu sisi mengkampanyekan “Back to nature” dalam pengolahan lahan pertanian, namun di sisi lain, terus saja memberikan bantuan pupuk pestisida.
Kata Tonny, Itu juga yang membuat penggunaan bahan-bahan organik ramah lingkungan, masih belum populis. Sebagian besar petani Gorontalo terus saja terjerat daya pikat pestisida, yang menjanjikan pengendalian hama dalam tempo sesingkat-singkatnya.
Padahal menurutnya, para orang tua di Gorontalo sudah sejak lama mewariskan cara bertani yang berpangkal pada kearifan lokal daerah itu.
Dia mengungkapkan,petani Gorontalo pada masa lalu, tahu kapan air akan pasang atau surut, kapan hujan atau hama akan datang menyerang, hanya dengan membaca gejala alam, lewat angin, rembulan atau dengan mengamati pergerakan burung terbang di udara.
“Kenapa hal itu tidak kita gunakan lagi, banyak orang yang modern, tapi isi kepalanya tidak,” tukasnya.
Dia mengatakan, penggunaan pestisida yang berlebihan pada sebagian besar lahan pertanian di Gorontalo, telah banyak memusnahkan pengendali alami hama tanaman, akibatnya, hama tanaman pun kian massif.
Kepinding tanah misalnya, kini bukan hanya menyerang lahan pertanian saja, tapi juga ikut menyergap setiap rumah-rumah penduduk, pada saat bulan terang, hama beraoma sangit yang bermukim dalam tanah itu keluar, mencari cahaya-cahaya terdekat, yakni lampu-lampu penerangan penduduk.
Dirinya menduga, fenomena itu juga ada kaitanya dengan penggunaan pestisida yang berlebihan.
Di tempat terpisah, Nadjib Pakaya, fungsional pengendali organisme penggangu tumbuhan dari Balai Pengembangan Perbenihan Tanaman Pangan dan Hortikultura (BPPTPH) Provinsi Gorontalo juga mengakui, penggunaan pupuk dan bahan pestisida pada lahan pertanian di wilayah itu masih lebih populis.
Namun begitu, dirinya tidak berani memprosentasikan seberapa besar penggunaannya. Pihaknya hanya mengklaim, toh dalam lima tahun terakhir ini, belum ada lahan pertanian yang gagal panen atau puso di Provinsi Gorontalo.
Dari data BPPTPH, kurun Januari-Desember 2013, sedikitnya ada 4360,41 hektar lahan padi sawah yang terserang hama di enam kabupaten/kota setempat, dengan kategori ringan sampai sedang.
Pihaknya mencatat, penggerek batang merupakan hama yang paling banyak melakukan serangan,seluas 1.239,78 hektar.
Sedang untuk tanaman jagung, tercatat lahan yang diserang berbagai jenis hama, seluas 5.986 hektar , juga denga kategori ringan hingga sedang.
“ Selain menggunakan agens hayati, kami juga aktif memberikan penyuluhan kepada petani, terkait kapan waktu yang tepat untuk melakukan penanaman, berdasarkan siklus pertumbuhan hama,” katanya.
Menanggapi hal itu, Iqbal Bahua, dosen fakultas pertanian, Universitas Negeri Gorontalo, mengatakan pihak BPPTPH, seharusnya membuka data yang lebih jauh kepada publik, misalnya, dengan mengumumkan secara rinci dan terbuka, ada berapa luas lahan yang terserang hama, karena disebabkan oleh pemakaian pestisida yang berlebih.
Menurutnya, hal itu penting diketahui publik sebagai bahan catatan seberapa besar tingkat sekuritas pangan di Provinsi Gorontalo.
Bahkan berdasarkan hasil penelitian sejumlah dosen dan mahasiswa pertanian UNG baru-baru ini, terungkap bahwa pada kurun 2013 hingga Maret 2014, tingkat penggunaan pestisida di lahan pertanian di Gorontalo, meningkat tajam hingga 10 persen.
Angka itu, menurutnya sudah terbilang tinggi,idealnya penggunaan pestisida hanya pada kisaran 1-4 persen.
Menurutnya hal ini terjadi karena petani di Gorontalo berupaya mencari cara tercepat menanggulangi hama tanaman, mengingat anomali cuaca selama setahun terakhir yang serba tidak menentu.
Padahal, selain merusak unsur hara dalam tanah dan berbahaya bagi kesehatan, penggunaan pestisida juga dikenal lebih berbiaya tinggi. Tak heran, banyak petani yang kemudian terjerat utang pada para rentenir, lintah darat yang memanfaatkan situasi itu.
“Petani kita sudah lama terbiasa dengan cara cepat menggunakan pestisida, selain faktor perilaku yang sulit diubah, hal ini juga disebabkan oleh program pemerintah yang masih banyak berbasis pestisida,” kata dia.
Jika dirunut ke belakang, program “Pestisidasentris” yang masih saja diusung pemerintah itu, menurutnya, sudah berlangsung puluhan tahun.
Dulu,ungkapnya, ketika rezim orde baru masih berkuasa, Indonesia sempat “naik kelas” dengan swasembada beras, tapi di balik kisah sukses yang sampai sekarang masih berulang-ulang diceritakan itu, menurutnya ada kisah yang pilu dan miris.
“Pada masa itu, petani dipaksa menanam padi, untuk memastikannya, bahkan ABRI pun dikerahkan masuk ke desa-desa, untuk mengkatrol produktivitas padi, pemerintah pun membagi-bagikan pestisida kepada petani, banyak kearifan lokal dalam pengelolaan pertanian yang hilang,” terangnya.
Akibatnya, sampai sekarang petani serba instan dalam mengelola pertanian, lebih banyak mengandalkan pestisida.
Di samping itu, ungkapnya lagi, tak bisa dipungkiri, ada rantai bisnis yang sudah mapan terbentuk antara pemerintah dengan produsen pestisida. Sebuah mata rantai yang sulit diputus seketika.
Di Gorontalo sendiri, terobosan pertanian di bidang pertanian, misalnya jagung pada masa Gubernur Fadel Mohammad, menurutnya sarat dengan nuansa politis, meski diakui, program yang dibungkus dengan nama “Agropolitan” itu cukup populis.
“Tapi populis itu saja tidak cukup,pemerintah harus berpikir jangka panjang, terutama pada soal keberlanjutan lingkungan, sebagian besar lahan yang ditanami jagung itu menggunakan pestisida,” katanya.
Penggunaan pestisida, tidak hanya bisa menimbulkan berbagai penyakit serius dalam tubuh manusia, tapi lama kelamaan juga membuat lahan pertanian produktif akan beranjak mandul.
Satu contoh misalnya, satu lahan jagung yang sudah terserang hama bulai, akibat penggunaan pestisida yang berlebihan, hanya bisa diolah kembali, paling cepat lima tahun kemudian.
“Kalau tanah sudah tidak produktif,lama kelamaan tamatlah riwayat pertanian di Gorontalo” tutupnya.
SYAM TERRAJANA (SYAMSUL HUDA M.SUHARI)
B U K U
2014 © AJI Indonesia